Untuk memberantas praktek pungli, Presiden mengeluarkan Perpres No 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (SABER PUNGLI)
Akhir-akhir ini banyak sekali oknum yang
tertangkap tangan oleh Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (SABER
PUNGLI) karena telah melakukan pungutan liar terhadap masyarakat. Mulai
dari oknum pemerintahan pusat sampai oknum pemerintahan tingkat
Kabupaten / daerah. Pungli sendiri dianggap masyarakat sudah wajar dan
bukan hal yang baru di negeri ini. Karena masyarakat sendiri ingin
mendapatkan pelayanan yang super kilat, tidak masalah harus mengeluarkan
sedikit / banyak uang untuk diberikan kepada petugas / pegawai instansi
tertentu. Praktek-praktek pungli ini sudah ada sejak jaman dahulu, tapi
tidak ditindak secara tegas malah dibiarkan / diabaikan begitu saja
oleh pemangku kebijakan waktu itu. Untuk menindak para pelaku
praktek-praktek pungli, maka Presiden RI mengeluarkan Perpres (Peraturan
Presiden) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan
Liar (SABER PUNGLI). Dan hasilnya sangat singnifikan setelah perpres
itu disahkan, puluhan ribu laporan yang masuk ke pemerintah terkait
adanya pungli dan banyak juga yang tertangkap tangan (OTT) oleh saber
pungli.
Apa Itu Pungutan Liar ( Pungli)?
Secara umum pungli diartikan sebagai pungutan yang dilakukan secara
tidak sah atau melanggar aturan, oleh dan untuk kepentingan pribadi
oknum petugas. Pungli adalah penyalahgunaan wewenang, tujuannya untuk
memudahkan urusan atau memenuhi kepentingan dari si pembayar pungutan.
Jadi pungli melibatkan dua pihak (pengguna jasa dan oknum petugas),
melakukan kontak langsung untuk melakukan transaksi rahasia maupun
terang-terangan. Oleh sebab itu, pungli pada umumnya terjadi pada
tingkat lapangan,dilakukan secara singkat dengan imbalan langsung
(biasanya berupa uang).
Tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya
prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi penyebab dari
semakin banyaknya masyarakat yang menyerah ketika berhadapan dengan
pelayanan publik yang korupsi. Hal ini merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan masyarakat cenderung semakin toleran terhadap praktik
pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Menurut KPK, pungli termasuk gratifikasi yang merupakan kegiatan
melanggar hukum, dalam hal ini diatur dalam Undang-Undang No.20 Tahun
2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Sesuai UU tersebut, pidana bagi
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang melakukan gratifikasi
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001
berasal dari Pasal 423 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 12 UU No.31 Tahun
1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada
UU No.20 Tahun 2001 (Tindak Pidana Korupsi), menjelaskan definisi
pungutan liar adalah suatu perbuatan yang dilakukan pegawai negeri atau
penyelenggara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Faktor Penyebab Pungutan Liar
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan pungutan liar, yaitu:
- Penyalahgunaan wewenang. Jabatan atau kewenangan seseorang dapat melakukan pelanggaran disiplin oleh oknum yang melakukan pungutan liar.
- Faktor mental. Karakter atau kelakuan dari pada seseorang dalam bertindak dan mengontrol dirinya sendiri.
- Faktor ekonomi. Penghasilan yang bisa dikatakan tidak mencukupi kebutuhan hidup tidak sebanding dengan tugas/jabatan yang diemban membuat seseorang terdorong untuk melakukan pungli.
- Faktor kultural & Budaya Organisasi. Budaya yang terbentuk di suatu lembaga yang berjalan terus menerus terhadap pungutan liar dan penyuapan dapat menyebabkan pungutan liar sebagai hal biasa.
- Terbatasnya sumber daya manusia.
- Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan.
Undang-Undang Yang Mengatur Tindak Pidana Pungli
Dalam kasus tindak pidana pungutan liar (pungli) sudah jelas
diatur dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi. Sesuai UU tersebut, pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang melakukan gratifikasi adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Selain diatur didalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi, dalam kasus tindak pidana pungutan liar tidak
secara pasti dalam KUHP, namun demikian pungutan liar dapat disamakan
dengan perbuatan pidana penipuan, pemerasan dan korupsi yang diatur
dalam KUHP sebagai berikut:
- Pasal 368 KUHP: "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun".
- Pasal 415 KUHP: "Seorang pegawai negeri atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat-surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun".
- Pasal 418 KUHP: "Seorang pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
- Pasal 423 KUHP: "Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun".
Kesimpulan
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan
Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (SABER PUNGLI) telah diterbitkan oleh
presiden RI. Berdasarkan perpres ini, pemerintah RI telah memberikan
legalitas kepada SATGAS SABER PUGLI untuk memberantas praktek PUNGLI di
Indonesia.
SATGAS SABER PUNGLI memiliki 4 fungsi, yakni Intelijen,
pencegahan, sosialisasi, penindakan serta yustisi. SATGAS SABER PUNGLI
diberikan kewenangan untuk melaksanakan Opersi Tangkap Tangan (OTT).
Dengan adanya Perpres tersebut, maka masyarakat dapat secara
langsung melaporkan praktek-praktek PUNGLI yang dilakukan oleh aparat di
instansi Pemerintah, TNI dan Polri kepada SATGAS
SABER PUNGLI melalui :
- WEBSITE : http://satreskrimreswakatobi@gmail.com
- SMS :081241308730
- CALL CENTER : 081241308730
Laporan masyarakat disertai dengan Identitas Pelaku, Lokasi Kejadian dan Instansinya (Identitas Pelapor akan dirahasiakan).
Dengan Adanya peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang
Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (SABER PUNGLI) telah diterbitkan
oleh presiden RI, para oknum-oknum yang mau melakukan pungli harus
berfikir dua kali. Selain itu perpres tersebut sangat efektif untuk
menangkal para praktik pungli.
Copyright © 2018 kanalhukum.id All Right Reserved
Penulis/Sumber : Ahmad Solikan Aji, SH


No comments:
Post a Comment